Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban
-Salim A Fillah"farhah,,banguunnn" jerit teman serumah saya ' jom tengok gerhanaaa" ahh.. semua orang excited sangat.
farhah terpisat-pisat bangun. malunya anak dara mengaku tidur setelah subuh. pagi itu panas sekali. semangat kami berkumpul dekat luar, melihat bulan yang kecil itu menutup bola gergasi si matahari dengan guna air dalam besen yang bertakung di laman rumah. padahal bulan tutup sedikit saja. jadi macam bulan sabit tapi hati dah menggebur seronok.
"pedihnya" terang sangat cahaya tu. padahal dah pakai rayban 2 lapis( kami jimat sangat dan malas nak beli kaca mata gerhana tu sebab belum tentu sempat ketemu gerhana seterusnya pun)
entah kenapa( ada sih penjelasan saintifik dia, tapi paah malas sangat nak google) sinar matahari tu terang sangat. sudah tengok refleksi dalam air dan pakai kaca mata hitam 2 biji lagi.. tapi masih silau juga.
dan tentunya, peluang jarang-jarang kalinya ini, kami ambik untuk solat sunat gerhana. padahal, semua blur tak tahu macam mana. Time tu jugak lah, sibuk belajar dan google. Ternyata yang paling afdal tu baca al-Baqarah. ampun mak nenek. saya baru hafal 5 ayat pertama sahaja dengan ayat kursi sahaja.Jadiya baca sahaja surah-surah yang dirasa panjang( padahal pendek saja) yang terhafal.
Dan sempena cahaya terang matahari pada hari rabu yang damai ini saya mahu mengutip kata-kata Salim A Fillah. kerana kata-katanya biasanya sedap banyak dari kata-kata saya yang sering aneh-aneh dan tunggang langgang bahasanya
Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.
Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.
Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.
Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.
Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.
Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang
dan di saat Allah seakan-akan mengambil dan menghancurkan harapan kita. ketahuilah bahwa ada sinar lebih terang di hujung sana. Cuma gerhana bukan tenggelamnya matahari. Ada sesuatu yang lebih baik menanti. Dan itu adalah satu ujian ketaatan. Benarlah, kadang-kadang kita cuma perlu pejamkan mata, dan rasakan kehangatanNya.
0 comments:
Post a Comment